Komunalnews.com
Pasangan suami istri
dari Jakarta Utara (Jakut), Johanes Halim dan Syilfani Lovatta Halim, mencari
keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya dipolisikan oleh leasing karena
keberatan terhadap tagihan leasing atas kredit mobil Toyota Voxy hingga
ditahan. Padahal sesuai Putusan MK, kasus ini seharusnya diselesaikan lewat
jalur perdata.
"Ini ada nasabah
yang menggugat UU Fidusia dan KUHP di Mahkamah Konstitusi karena leasing mau
menarik secara sepihak objek jaminan fidusia berupa mobil Voxy, sedangkan belum
ada kesepakatan cedera janji antara debitur dan kreditur. Padahal pada putusan
MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan selama belum ada kesepakatan tentang
adanya cedera janji antara debitur dan kreditur, maka tidak boleh dilakukan
penarikan secara sepihak," kata kuasa hukum Johanes-Syilfani, Eliadi Hulu,
Dalam berkas permohonan yang dikirimkan ke MK, pasutri itu mengisahkan kredit
Voxy disetujui leasing pada 2019. Memasuki 2020, perekonomian pasutri itu
terdampak pandemi COVID-19 sehingga kesulitan membayar cicilan.
Pasutri itu kemudian
mengajukan relaksasi dan disetujui leasing pada 18 September 2020. Permohonan
ini dikabulkan dengan kredit dibantarkan dan akan kembali dicicil pada Mei
2021. Namun karena kondisi ekonomi masih terdampak pandemi COVID,
Johannes-Syilfani kembali mengajukan penangguhan kredit. Sebab, berdasarkan
PJOK Khusus yang mengatur relaksasi restrukturisasi, kredit diperpanjang hingga
Maret 2023.
Namun permohonan itu ditolak leasing. Malah, Johannes-Syilfani dilaporkan ke
Polda Metro Jaya dengan Pasal 36 UU Fidusia pada Juni 2021. Pasal itu berbunyi:
Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang
dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
"Pada 1 November 2021, Johannes Halim ditangkap dan ditahan oleh Polda
Metro Jaya karena dugaan tindak pidana penggelapan Pasal 372 KUHP dan Pasal 36
UU Fidusia," demikian cerita keduanya di berkas permohonan.
Atas apa yang dialaminya, Johannes dan Syilfani meminta keadilan ke MK. Mereka
mengajukan judicial review Pasal 30 UU Fidusia yang berbunyi:
Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.
Johannes dan Syilfani meminta pasal 30 di atas diubah menjadi:
Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia, kecuali terhadap objek
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi)
dan debitur tidak secara sukarela menyerahkan objek fidusia.
Johannes dan Syilfani juga meminta penjelasan pasal 30 di atas diubah, dari:
Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta
bantuan pihak yang berwenang.
Menjadi:
Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta
bantuan pihak yang berwenang, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak
ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur tidak secara
sukarela menyerahkan objek fidusia.
Demikian juga Pasal 372 KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama
sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam
tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman
penjara se-lama2nya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.
Diubah menjadi:
Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama
sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam
tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman
penjara se-lama2nya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900, kecuali
terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji
(wanprestasi) dan debitur tidak secara sukarela menyerahkan objek fidusia.
"Dengan eksisnya Pasal 30 dan Penjelasan Pasal 30 UU Fidusia apa adanya
(original intent) tersebut, mengakibatkan terlanggar hak-hak konstitusional
para pemohon, yaitu dalam mempertahankan objek jaminan fidusia secara
contituendem menjadi hak milik pemberi fidusia atau debitur sebagaimana Pasal
28H ayat 4 UUD 1945 dan sesuai dengan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019,"
papar Eliadi Hulu.
Komentar
Posting Komentar