Komunalnews.com
Masjid Istiqlal merupakan masjid terbesar di Asia
Tenggara yang tak hanya memiliki desain megah namun juga menawan.
Masjid Istiqlal genap berusia 44 tahun setelah
diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1978.
Indahnya masjid yang berlokasi di bekas benteng
Citadel Belanda ini tak lepas dari tangan dingin sang arsitek Friedrich
Silaban.
Seperti dikutip dari arsip Kompas, pria kelahiran
Bonandolok, Sumatera Utara, ini lahir pada 16 Desember 1912 dan meninggal di
Jakarta, 14 Mei 1984, dalam usia 72 tahun.
Tak hanya Masjid Istiqal, beberapa gedung hasil
rancangannya masih berdiri kokoh hingga sekarang. Di antaranya Bank Indonesia
di Jalan MH Thamrin, Gedung Pola di Jalan Proklamasi,
Gedung Markas Besar TNI Angkatan Udara di Pancoran,
serta Gedung BNI di kawasan Kota.
Dia juga merancang beberapa bangunan di Bogor
seperti rumah dinas Wali Kota Bogor dan bangunan Sekolah Pertanian Menengah
Atas (SPMA) Bogor.
Pada tahun 1953, atas perintah Presiden Soekarno, Silaban
yang bekerja sebagai Kepala Djawatan Pekerdjaan Umum (PU) Bogor menjadi arsitek
pembangunan kembali makam pelukis Raden Saleh Sjarif Bustaman yang meninggal
tahun 1880.
Proyek Silaban lainnya adalah Stadion Gelora Bung
Karno, Jakarta. Merujuk pada Harian Kompas, Minggu 7 Desember 1980 tertulis
kompleks olahraga ini semula akan dibangun di daerah Dukuh Atas, tepatnya di
lahan kiri-kanan Jalan Sudirman.
Untuk menghubungkan kedua sisi itu, akan dibangun
terowongan. Gambar, denah, dan teknisi dari Rusia sudah siap di Jakarta untuk
mengerjakannya.
Sebelum proyek dimulai, presiden Soekarno meminta
pendapat Friedrich pada sidang penentuan.
Namun sang aristek tak setuju dengan lokasinya
karena akan mengganggu jalan utama yang menghubungkan kawasan Kebayoran dan
daerah Kota.
Alhasil, kompleks olahraga itu dibangun di
perkampungan Senayan pada tahun 1959. Ketika itu, Indonesia akan menjadi tuan
rumah Asian Games IV di Jakarta 1962.
Friedrich menyelesaikan pendidikan formal di H.I.S.
Narumonda, Tapanuli tahun 1927. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di
Kweekschool-Sekolah Teknik (KWS) Betawi.
Saat baru duduk di kelas I, sang ayah, Jonas
Silaban, meninggal. Berkat kepandaiannya, dia mendapat beasiswa dengan syarat
harus tinggal dengan keluarga Belanda, keluarga Funck, di Petojo.
Di kelas III, Friedrich mulai menggambar dan membuat
denah. Imbalan pertamanya 25 gulden. Tahun 1931, dia lulus KWS dan membantu
arsitek Antonisse.
Tahun 1937 Friedrich kemudian bekerja di Pontianak,
lalu menjadi Kepala PU di Bogor. Karena kerap berdiskusi dengan Bung Karno,
sampai disebut sebagai arsitek ”kesayangan” Soekarno.
Friedrich menikahi Letty Kievits dan dikaruniai 10
anak.
Keluarganya kini tinggal
di Bogor dan rumah pribadi yang juga hasil rancangannya itu pun menjadi salah
satu kajian bagi sebagian mahasiswa arsitektur.
Komentar
Posting Komentar