Komunalnews.com
tirto.id - Polina (27), warga negara Rusia yang sekarang mengajar bahasa Inggris di Georgia, mengaku tak lagi tertarik apalagi percaya dengan politik. “Aku sebenarnya bisa memberikan suara di pemilu legislatif September kemarin, tapi aku putuskan tidak melakukannya,” katanya via pesan singkat, Selasa (5/10/2021) kemarin. “Dulu aku memang pernah ikut pemilu, sekali. Tapi jujur saja sudah tidak ingat partai apa yang dipilih. Sepertinya partai komunis, sosialis, atau aktivis lingkungan.” Kejengahan Polina terhadap politik Rusia mewakili kawula muda lain yang merasa negerinya sudah terjebak dalam stagnasi di bawah 20 tahun rezim autokrasi Vladimir Putin. Survei tahun 2019 mengungkap lebih dari separuh responden berusia 18-24 ingin pindah ke luar negeri demi masa depan lebih baik, sementara di kalangan usia 25-35 tahun angkanya mencapai 30 persen.
Pemikiran kaum muda berbeda dari orang tua atau kakek-nenek mereka yang sempat mencicipi karut-marut sosio-ekonomi pada dekade 1990-an. Generasi senior cenderung lebih nyaman dengan pemerintahan Putin karena dianggap sudah memberikan stabilitas yang dibumbui oleh rasa cinta tanah air atau semacam kejayaan nasional. Pandangan ini tercermin pada tingkat kepuasan publik terhadap sang presiden, yang konsisten di kisaran 60-80 persen.
Pandangan kaum muda sejalan dengan semakin kerasnya suara-suara ketidakpuasan terhadap pemerintah belakangan ini. Faktornya berkelindan. Dari mulai inflasi, peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran yang diperparah oleh pandemi Covid-19, termasuk maraknya korupsi oleh elite di sekeliling Putin.
Ketidakpuasan ini berkali-kali mewujud dalam protes massal. Pada 2018, protes muncul karena pemerintah menambah batas usia pensiunan. Pada 2019, ibu kota Moskow jadi saksi bisu demonstrasi terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah demonstran diperkirakan sampai 40 ribuan dan seribuan di antaranya berakhir dengan ditahan polisi. Mereka memprotes Kremlin yang memberangus lawan-lawan politik dengan melarang kandidat-kandidat independen berlaga di pemilu daerah, terutama mereka yang berada di lingkaran terdekat aktivis antikorupsi sekaligus pengkritik keras Putin, Alexei Navalny. Navalny (45) adalah seorang nasionalis berlatar belakang pengacara yang langganan keluar masuk penjara karena kerap melancarkan protes di ruang publik tanpa izin. Ia ikut berpartisipasi dalam pawai-pawai gerakan sayap kanan, menentang imigrasi ilegal, sampai menolak program pemerintah untuk menyubsidi etnis minoritas miskin di kawasan otonomi pedalaman Kaukasus. Pada Pemilu Presiden 2018, ia dilarang maju sebagai kandidat presiden karena dituduh korup. Baru-baru ini ia nyaris mati karena diracun, sampai akhirnya sekarang mendekam di penjara karena tuduhan melanggar aturan bebas bersyarat. Tahun ini, sekutu-sekutu Navalny kembali dihalangi untuk maju pemilu. Sejak Juni silam, organisasi-organisasi politik yang berafiliasi dengan mereka, termasuk yayasan antikorupsi milik Navalny, ditetapkan sebagai organisasi “ekstremis”. Melalui putusan hukum, mereka semua dianggap sudah “memicu kebencian dan permusuhan terhadap pejabat pemerintah.”
Dominasi United Russia
Putin terpilih sebagai presiden pada 2000. Jabatan ini dipertahankannya selama empat periode—plus sebagai perdana menteri selama satu periode. Aturan hukum terbaru bahkan memungkinkan Putin jadi presiden sampai 2036. Jika memang bertahan sampai selama itu, ia bakal jadi pemimpin terlama sejak Kekaisaran Rusia runtuh satu abad silam. Bukan tidak mungkin masa kerjanya bakal menyalip rekor Joseph Stalin yang memimpin Uni Soviet selama 29 tahun. Selama berkuasa, Putin disokong oleh badan legislatif yang disebut Duma. Duma terdiri atas 450 anggota dewan rendah yang dipilih langsung oleh rakyat setiap lima tahun. Sejak 2003, mayoritas politikus terpilih berasal dari United Russia, partai tanpa haluan politik jelas yang selalu memberikan sinyal hijau untuk setiap kebijakan Putin. United Russia pernah menguasai 75 persen atau lebih dari 340 kursi parlemen pada Pemilu Legislatif 2016. Kala itu, gelombang patriotisme tengah menyapu Rusia, yang dua tahun sebelumnya berhasil mencaplok Krimea.
Dominasi United Russia di Duma memudahkan segala rancangan kebijakan lolos tanpa perlu dukungan partai lain, yang fungsinya sekadar dekorasi. Meskipun mengampanyekan platform politik berbeda-beda, partai-partai di luar United Russia yang kebagian jatah kursi Duma akhirnya selalu condong ke Kremlin. Sikap ini misalnya tampak pada partai sosial demokrat Rusia Adil, Partai Liberal Demokrat Rusia yang populis-nasionalis, bahkan komunis yang didirikan setelah era Soviet, Partai Komunis Federasi Rusia (KPRF). Mereka biasa disebut “oposisi sistemik” atau oposisi yang sudah dijinakkan oleh rezim, sengaja dibuat eksis untuk menciptakan ilusi akan keberagaman politik di lanskap pemerintahan Rusia. Seiring dengan kemandekan ekonomi dan gencarnya oposisi terhadap oposisi, popularitas United Russia pun merosot. Survei awal tahun ini menunjukkan dukungan publik turun di kisaran 27 persen, terendah dalam lima tahun terakhir. Terlepas dari itu, mereka masih mendominasi perolehan suara pada pemilu legislatif 17-19 September silam. United Russia meraup total 324 kursi, sementara seratusan sisanya tersebar untuk Partai Komunis (57), Rusia Adil (27), dan Demokrat Liberal (21). Ada juga Rakyat Baru, partai baru berhaluan liberal yang kebagian 13 kursi. Dengan dua per tiga kursi parlemen dimenangkan, United Russia bertahan sebagai kelompok paling berkuasa di parlemen.
Kecurangan Pemilu 2021
Berbagai taktik sudah dilancarkan demi mempertahankan dominasi United Russia. Untuk mengelabui pemilih suara, misalnya, mereka memasang kandidat yang punya nama lengkap dan foto menyerupai figur oposisi. Selain itu, manipulasi juga dilakukan lewat pembentukan partai baru. Partai yang lolos perdana di parlemen, Rakyat Baru, disinyalir sebagai produk akal-akalan Kremlin untuk mengambil hati kaum muda pendukung gerakan antikorupsi Navalny. Tak ketinggalan pula program bagi-bagi duit untuk tentara, pekerja di sektor publik, dan pensiunan. Orang-orang di sektor pertahanan dilaporkan menerima 15 ribu rubel atau nyaris Rp3 juta, sementara pensiunan dan orang tua yang punya anak sekolah dapat 10 ribu rubel atau hampir Rp2 juta. Surat perintah dari presiden menyebutkan bahwa dana tersebut harus ditransfer pada malam pemilu. Tekanan untuk memilih United Russia juga ditemui di lingkup sekolah negeri. Oleg Pritulin, guru bahasa Inggris SD di tenggara Moskow, mengaku kepada Al Jazeera bahwa “kepala sekolah bilang bahwa kami harus daftar [pemilu], memberikan suara untuk United Russia atau menghadapi pemecatan.” Pritulin memilih untuk mengundurkan diri dan menekuni karier utamanya sebagai penerjemah, suatu keputusan yang tidak bisa diambil kolega-koleganya karena kebanyakan dari mereka memang hanya menggantungkan hidup dari mengajar.
Dugaan kecurangan juga muncul saat pelaksanaan pemilu. Misalnya terkait penyelenggaraannya yang cukup lama, yaitu 3 hari berturut-turut. Meskipun dalihnya untuk mencegah kerumunan agar tak ada penyebaran Covid-19, itu diduga untuk memberikan waktu lebih bagi pihak-pihak tertentu untuk memproses kecurangan. Di Moskow, hasil suara yang diambil secara daring baru diumumkan setelah 12 jam. Dalam periode itu diduga otoritas setempat mengutak-atik suara. Pada waktu sama, keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu secara daring di tujuh daerah dikritik sebagai upaya untuk mempermudah proses manipulasi suara. Tersebar pula video-video di media sosial yang menunjukkan penyelewengan di bilik suara. Lembaga pemantau independen Golos sudah mendata lebih dari 5 ribu potensi kecurangan, namun tak digubris oleh Komisi Pemilu Pusat.
Melawan dengan Partai Komunis?
Sebelum hari pemilihan, rekan-rekan aktivis antikorupsi Alexei Navalny sudah menyerukan kepada warga yang gerah dengan pemerintah untuk memberikan suaranya pada Partai Komunis (KPRF). Ini adalah strategi untuk menggerus suara United Russia dan menggeser kandidat-kandidat mereka. Strategi di atas diperkuat oleh aplikasi Smart Voting buatan Navalny. Aplikasi ini bisa memberikan rekomendasi kepada pemilih tentang nama-nama politikus paling potensial untuk mengalahkan kandidat dari United Russia di tingkat daerah. Pemerintah, yang merasa terancam dengan Smart Voting, akhirnya menekan Google dan Apple untuk menghapusnya dari toko aplikasi daring mereka. Kedua raksasa teknologi ini pun terpaksa mematuhi perintah tersebut atau harus siap didenda karena dianggap mengintervensi pemilu. Di balik segala dugaan kecurangan dan represi yang mewarnai pemilu, strategi Navalny dan kawan-kawan tampak berhasil. Suara untuk United Russia menurun, dari sekitar 54 persen pada Pemilu 2016 menjadi di bawah 50 persen. Seperti biasanya, Partai Komunis mengikuti di belakangnya. Hanya saja, kali ini persentase suara untuk mereka naik dari 13 jadi 19 persen.
KPRF bisa disebut milenial sebab baru lahir pada 1993. Namun, mereka menyandang nama besar sang pendahulu: Partai Komunis Uni Soviet (Communist Party of the Soviet Union/CPSU). Didirikan oleh Vladimir Lenin, CPSU menguasai Uni Soviet sejak Kekaisaran Rusia dilengserkan pada 1917 sampai Blok Timur runtuh pada 1991. Meski pernah menjadi motor penggerak politik di masa lalu, partai komunis di Rusia modern ini tidak serta merta jadi gerakan politik yang kuat. Sejak dekade 1990-an, calon presiden mereka selalu kalah. Di Duma, mereka selalu duduk di bangku oposisi dengan rata-rata perolehan di bawah 100 kursi. Hanya pada 1998-1999 mereka sempat mendapat kursi lebih banyak dan berkoalisi sebentar dengan kabinet Perdana Menteri Yevgeny Primakov. Sampai akhirnya hadirlah United Russia. Partai Komunis larut dalam permainan penguasa baru ini selama dua dekade terakhir: menjadi oposisi yang layu. Baru semenjak gerakan untuk melawan kemapanan rezim Putin digencarkan Navalny dan aktivis antikorupsi lain Partai Komunis mulai menunjukkan gelagat berbeda. Segelintir politikus komunis tampak lebih serius melawan Kremlin dan bahkan berpotensi menjalin aliansi dengan Navalny, demikian amatan Mark Galeotti dari lembaga konsultan riset Mayak Intelligence. Merangkum ulasan Galeotti berjudul “The Communist Party of Russia: More Than Soviet Nostalgia” (2020), KPRF hari ini bisa digolongkan ke dalam tiga faksi yang masing-masing punya karakter khas. Pertama adalah kelompok veteran yang didukung oleh pemilih generasi tua dan hobi bernostalgia tentang cita-cita Soviet zaman dulu. Kedua adalah kelompok berorientasi karier, seperti pemimpin partai Gennady Zyuganov dan wakilnya Ivan Melnikov (yang sudah menginjak usia 70-an) serta angkatan di bawahnya yang mendambakan kemapanan karier di partai. Mereka cenderung nyaman dengan posisinya sebagai figur “oposisi” dan puas karena sudah kebagian lampu sorot di panggung politik (walau demikian, baru-baru ini Zyuganov terlihat lebih bersemangat untuk melawan tekanan dari Kremlin). Ketiga adalah komunis-komunis muda yang progresif. Mereka ingin membawa perubahan dengan bergabung di partai politik yang terstruktur, alih-alih melalui aktivisme jalanan atau gerakan masyarakat sipil seperti lazimnya dilakukan pengikut Alexei Navalny. Menurut Galeotti, jumlah kaum progresif muda di Partai Komunis menunjukkan tren meningkat. Kehadiran mereka diyakini akan menambah energi untuk golongan senior atau veteran. Sementara kelompok peniti karier masih perlu berusaha untuk merangkul kalangan progresif agar bisa saling dukung dan bekerja sama.
Apabila ketiga kelompok di atas dapat bersinergi, tulis Galeotti, Partai Komunis akan mampu menyediakan “mesin dan kekokohan” untuk melengkapi “energi dan antusiasme” yang ditawarkan kalangan aktivis di sekitar Navalny. Partai Komunis dan gerakan Navalny bisa membentuk aliansi yang masuk akal untuk melemahkan musuh bersama mereka di Kremlin. Partai Komunis dan lingkaran aktivis Navalny memang berasal dari spektrum ideologi politik yang berbeda. Politikus independen sokongan Partai Komunis sekaligus dosen matematika di Universitas Negeri Moskow, Mikhail Lobanov (37), mengaku dirinya berdiri di haluan politik yang sangat kiri, sedangkan Navalny berangkat dari pemikiran politik kanan. Walau begitu, Lobanov tetap menyambut baik perhatian terhadap isu-isu upah minimum dan serikat pekerja yang pernah disuarakan oleh lingkaran pendukung Navalny. “Saya percaya diperlukan diskusi yang jujur dengannya [Navalny] dan debat posisi ideologis,” kata Lobanov dalam wawancara dengan Jacobin. Lobanov gagal duduk di parlemen walaupun berhasil mendulang 10 ribu suara lebih banyak dari politikus United Russia pada pemilu September. Kecurangan dan manipulasi suara diduga berada di baliknya. Namun Lobanov tetap optimistis ia akan terus menyebarkan energi dan pandangannya melalui gerakan serikat dagang dan organisasi-organisasi mandiri di lingkup kampus. Lobanov percaya bahwa pencapaian Partai Komunis kemarin sudah membuktikan “kemenangan” di pihak mereka. Pendek kata, Partai Komunis dipandang berhasil dan berpotensi ikut menyuarakan ketidakpuasan terhadap politik Rusia yang represif.
Komentar
Posting Komentar