Komunalnews.com
John Roosa, seorang penulis buku "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto" yakin ada hal baru yang bisa diketengahkan
mengenai G30S melalui dokumen yang ditulis Supardjo. Didorong
keringintahuannya, ia mendatangi penyimpanan arsip militer di Dinas Dokumentasi
Museum Satria Mandala, Jakarta.
Di sana, Roosa membaca pernyataan Supardjo
di Mahkamah Militer Luar Biasa atau Mahmilub pada 1967 berikut bukti-bukti
yang diajukan mahkamah kepadanya. Pada ujung bundel terakhir itulah, di bagian
yang ditandai "Barang-Barang Bukti", ia menemukan analisis Supardjo
tentang kegagalan G30S.
Dokumen itu adalah analisis Supardjo
pascaperistiwa G30S yang ia tulis dengan jujur. Supardjo menulis dokumen itu
sekitar 1966 saat ia masih dalam persembunyian, ia pun akhirnya ditangkap pada
12 Januari 1967.
Namun, dokumen tersebut terabaikan
bertahun-tahun. A.H. Nasution yang berhasil lolos dalam penculikan G30S bahkan
memuat kutipan dokumen itu dalam otobiografinya. Meski begitu, Nasution tidak
berkomentar apa-apa.
Pengabaian dokumen itu disayangkan oleh Roosa. Karena dokumen itu adalah sumber
utama informasi terbanyak mengenai G30S yang ditulis orang terdekat para pelaku
inti selama gerakan berlangsung.
Menurut analisis Roosa, dokumen itu
dimaksudkan untuk orang-orang yang berhubungan dengan G30S supaya belajar dari
kesalahan yang telah mereka lakukan. Sebagai dokumen internal, dokumen itu
lebih andal daripada kesaksian-kesaksian para pelaku yang diberikan di depan
interogator dan mahkamah militer.
Keaslian dokumen Supardjo dikonfirmasi oleh
wakil komandan G30S sekaligus seorang letkol Angkatan Udata, Heru Atmojo. Ia
bahkan pernah diberi salinannya oleh Supardjo untuk dibaca di dalam penjara.
Lantas,
apa isi dokumen Supardjo? Secara garis besar, dokumen berjudul "Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi 'Gejala G30S' Dipandang dari
Sudut Militer" itu memuat analisis
postmortem Supardjo mengenai kegagalan G30S.
Menurut dia, sebagian besar penyebab
kehancuran G30S adalah karena ketidakmampuannya sendiri. G30S tidak memiliki
rencana matang selain penculikan tujuh jenderal, tidak memanfaatkan radio tidak
mampu membuat keputusan, dan bahkan tidak memberi makan pasukannya.
G30S dilihatnya sebagai pelajaran
memprihatinkan tentang apa yang terjadi jika orang sipil merancang aksi
militer. Sjam yang merupakan orang sipil menempatkan diri sebagai pimpinan G30S
dan menggertak Biro Chusus PKI supaya memberi laporan yang sesuai dengan
agendanya sendiri.
Ia juga mengabaikan kritik dari perwira
militer yang bekerja sama dengannya, serta mencampuradukkan paradigma aksi
militer yang bersifat rahasia dengan mobilisasi rakyat sipil yang bersifat
terbuka.
Secara gamblang, Supardjo dalam dokumennya
bahkan mengatakan Sjam adalah orang yang paling bertanggungjawab dalam memulai
dan merancang G30S. Meski begitu, Sjam bukanlah aktor sesungguhnya karena ka masih
memiliki atasan dalam G30S yang tidak diketahui oleh Supardjo.
Melalui
dokumennya, Supardjo tidak sedang menjunjung martabat lembaganya, yaitu militer
Indonesia. Justru, ia menulis sebagai pengikut setia PKI yang berniat mendidik
"kawan pimpinan", terlepas penyesalannya karena telah menaruh
kepercayaan mendalam kepada Sjam dan setelah menyadari rencana G30S yang tidak logis.
Supardjo tidak menyesali kesetiaannya itu.
Ia bahkan menyalahkan kawan sesama perwiranya, dalam satu alinea di dokemen
itu, karena tidak bisa melaksanakan tugas revolusioner.
Ia juga menghargai profesinya dnegan
sungguh-sungguh. Meski fasih dalam strategi militer, ia yakin militer
seharusnya mengabdi kepada politik revolusioner daripada politik elitis
pro-barat yang diajukan Nasution. Dokumen itu juga menjadi kritik intern oleh
seorang loyalis partai yang dikecewakan oleh langkah-langkah yang diambil
pimpinan partai.
Komentar
Posting Komentar