Mahfud MD Bersikeras Membongkar Kasus Transaksi Rp 349 Triliun Kementerian Keuangan Setelah Diskusi dengan Presiden Jokowi
Komunalnews.com
Menurutnya, hal ini bermula dari pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo pada Februari 2023 lalu. Saat itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan dirinya menghadiri penyelenggaraan acara Satu Abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah acara, dirinya diajak pulang bersama Presiden satu pesawat. Jokowi pun memulai pembicaraan mengenai korupsi di Tanah Air.
"Sebulan lalu, ketika ada acara 1 abad NU di Sidoarjo saya diajak pulang bersama oleh presiden 1 pesawat dari Surabaya karena apa? membahas indeks persepsi korupsi," tutur Mahfud di Komisi III DPR, dikutip Senin (3/4/2023).
Lalu, dari penuturan Mahfud, dia menjelaskan kepada Jokowi telah mengundang berbagai lembaga untuk menguak penyebab penurunan itu. Di antaranya yang disebutkan secara gamblang dari Transparansi Internasional Indonesia dan Litbang Kompas.
Dari data beberapa lembaga itu lalu terungkap bahwa turunnya indeks persepsi korupsi itu disebabkan sentimen negatif terhadap bidang pelayanan publik, terutama akibat korupsi di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak.
"Terutama korupsi di bea cukai dan perpajakan, clear itu penjelasannya, yang kedua facilitating payment dalam pelayanan publik di berbagai tempat itu orang sekarang bayar mau naik pangkat bayar ke siapa, kalau enggak punya channel itu enggak bisa," papar Mahfud.
Tak lama berselang, terjadi kasus pemukulan anak dari eks pejabat eselon 3 di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo. Kasus tersebut terungkap ke publik, hingga harta kekayaan jumbo Rafael menjadi sorotan. Dari sini lah, ia mengaku mulai tertarik mengusut lebih dalam.
"Itulah sebabnya sejak saat itu saya ini pajak dan bea cukai jadi masalah sehingga kalau saya kok punya latar belakang begitu ada kasus Alun (RAT)," paparnya.
"Dari situ saya minta rekap, saya yang minta rekap, inilah rekap yang saya sampaikan tadi, saudara, data ini clear, valid, tinggal pertemukan saja dengan bu Sri Mulyani," ujar Mahfud.
Sayangnya, data transaksi mencurigakan yang telah diserahkan PPATK ke Kemenkeu sejak 2009 sampai tahun ini tidak secara benar diperoleh Sri Mulyani. Menurut Mahfud ada pihak-pihak di bawah Sri Mulyani yang menghalang-halangi data itu sampai ke Sri Mulyani.
"Bahwa ada kekeliruan pemahaman Ibu Sri Mulyani dan penjelasan ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah," ucap Mahfud.
Dia pun mengungkapkan data yang sebenarnya ia peroleh. Data transaksi janggal yang diperoleh dari laporan hasil analisis (LHA) PPATK itu terbagi ke dalam 3 kelompok.
Pertama, adalah transaksi keuangan mencurigakan oleh pegawai Kementerian Keuangan yang total nilainya sebanyak Rp 35 triliun. Jauh lebih banyak dari yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani sekitar Rp 3 triliun.
"Kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi 11 menyebut hanya Rp 3 triliun, yang benar Rp 35 triliun," kata Mahfud.
Selanjutnya, adalah transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain sebesar Rp 53,82 triliun. Terakhir adalah transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu sebesar Rp 260 triliun.
"Itu transaksi keuangan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatannya sebesar Rp 260 triliun, Sehingga jumlahnya Rp 349 triliun fix. Nanti kita tunjukkan suratnya," ucap Mahfud.
Mahfud mengatakan, secara total jumlah PNS Kementerian Keuangan yang diduga terlibat dalam transaksi janggal Rp 349 triliun itu sebanyak 491 orang, PNS di Kementerian atau Lembaga lain sebanyak 13 orang dan tenaga non PNS atau non ASN sebanyak 570 orang.
Akhir pekan lalu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara akhirnya buka suara ihwal perbedaan data yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Menko Polhukam Mahfud Md, terkait surat berisi transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan dari PPATK.
Saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR dua hari lalu, Mahfud mengatakan terdapat perbedaan data yang disampaikan Sri Mulyani saat menjelaskan transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu yang semula Rp 35 triliun menjadi hanya Rp 3,3 triliun.
Suahasil menjelaskan, perbedaan data ini sebetulnya hanya dikarenakan Kementerian Keuangan telah menyisihkan 100 surat yang PPATK alamatkan ke aparat penegak hukum (APH), dari total 300 surat yang disampaikan PPATK terkait transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan.
"Kenapa ada perbedaan? karena ketika kita melihat yang tabel pie chart tadi Kemenkeu tidak menerima surat yang dikirimkan ke APH," kata Suahasil saat media briefing di kantornya, Jakarta, dikutip Senin (3/4/2023).
Suahasil mendetailkan, khusus untuk surat atau laporan PPATK yang berkaitan dengan transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu versi penyampain Sri Mulyani, sebetulnya berjumlah Rp 22 triliun. Sedangkan yang Rp 3,3 triliun adalah murni pegawai, karena Rp 18,7 triliun nya terkait korporasi.
Rp 22 triliun itu berasal dari surat laporan PPATK yang langsung disampaikan ke Kemenkeu, sedangkan yang disampaikan PPATK terkait itu ke APH berjumlah Rp 13,07 triliun. Sehingga jika ditotalkan tetap sebesar Rp 35 triliun sesuai pemaparan Mahfud di Komisi III.
Namun, sebagai informasi, dalam data yang dipaparkan Mahfud, sebetulnya juga telah menunjukkan bahwa dari total Rp 35 triliun, yang surat dikirimkan ke APH telah disebut sebanyak 83 surat dan ke Kemenkeu 153. Adapun sata Suahasil yang ke APH 64 surat dan ke Kemenkeu 135 surat.
"Jadi itu tidak ada perbedaan data, kita kerja atas 300 rekap. Cara mengklasifikasikannya aja yang bisa kita lakukan dengan berbagai macam cara. Kita konsisten, bisa kita tunjukkan kalsifikasinya, tidak ada kita tutup-tutupi di sini," ucap Suahasil.
Komunalnews.com
Komentar
Posting Komentar