Komunalnews.com
Peraturan tersebut direvisi menjadi Peraturan Presiden No.109 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres No.3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Namun sayangnya, sejumlah perusahaan asing satu per satu memutuskan untuk hengkang dari proyek "kebanggaan" Presiden Jokowi tersebut. Baik dari sektor minyak dan gas bumi (migas) maupun petrokimia, proyek di sektor tersebut ditinggalkan investor asing.
Berikut daftar PSN yang ditinggalkan investor asing:
1. Proyek Gas Laut Dalam
Salah satu Proyek Strategis Nasional yang ditinggalkan investor yaitu proyek gas laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur.
Mulanya, Chevron Indonesia Company (CICO) mengelola proyek IDD ini. Namun sejak beberapa tahun lalu Chevron mengumumkan akan melepas pengelolaan lapangan migas IDD ini karena dinilai tidak ekonomis bagi perusahaan.
Perusahaan migas asal Italia yakni ENI dikabarkan bakal menggantikan posisi Chevron dalam pengelolaan proyek IDD.
Hal tersebut dibenarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat dikonfirmasi perihal itu.
Menurut Arifin, proses perpindahan pengelolaan proyek IDD sendiri diharapkan dapat selesai pada akhir Mei 2023 ini.
"IDD nanti keputusannya Insya Allah akhir Mei," kata Arifin saat ditemui di Kantor ESDM, dikutip Senin (8/5/2023).
Proyek IDD cukup menarik untuk dikembangkan karena produksi gasnya diperkirakan bisa mencapai 844 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan 27.000 barel minyak per hari (bph).
Proyek IDD terdiri dari dua proyek hub gas yang akan dikembangkan yakni Gendalo dan Gehem hub. Proyek ini awalnya direncanakan dapat beroperasi pada 2025 namun akhirnya mengalami kemunduran hingga menjadi 2028.
2. Proyek Gas Abadi di Maluku
Proyek strategis kedua yang juga ditinggalkan investor yaitu Proyek Lapangan Abadi, Blok Masela di Maluku. Perusahaan asal Belanda, Shell, memutuskan untuk hengkang dari proyek ini dengan menjual kepemilikan hak partisipasi (Participating Interest/ PI) 35%.
Dengan keluarnya Shell dari proyek Blok Masela, pemerintah pun mendorong agar BUMN migas yakni Pertamina dapat masuk untuk mengambil 35% hak partisipasi milik Shell tersebut. Saat ini pemerintah masih menunggu kepastian dari Pertamina untuk bergabung di Blok Masela ini.
Arifin menargetkan proses pengambilalihan hak partisipasi Shell di Blok Masela sebesar 35% oleh Pertamina ditargetkan tuntas pada Juni 2023.
Menurut Arifin, setelah proses akuisisi rampung Pertamina nantinya akan menjadi mitra Inpex dalam pengelolaan Blok jumbo tersebut. Inpex sendiri diketahui masih memegang kepemilikan hak partisipasi sebesar 65% dan merupakan operator blok ini.
"Awal Juni kita harapkan. Awal Juni sudah ada keputusannya, sudah ada partnernya, sudah ada konsorsium baru," ujar Arifin.
Arifin mengatakan Pertamina nantinya akan masuk sendiri terlebih dahulu dalam proses pengambilalihan hak partisipasi Shell di Blok Masela. Dengan demikian, belum dapat dipastikan apakah perusahaan migas pelat merah itu akan menggandeng partner lain atau tidak.
Blok Masela ini diperkirakan memiliki potensi produksi 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) gas atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel minyak per hari.
Proyek ini dikatakan "raksasa" karena diperkirakan akan menelan biaya hingga US$ 19,8 miliar. Pengelola blok ini baik Inpex dan mitranya nantinya akan membangun Kilang Gas Alam Cair (LNG) di darat.
3. Proyek Hilirisasi Batu Bara
Proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) dan metanol juga ditinggalkan investor asing. Investor yang cabut tersebut yaitu Air Products and Chemicals Inc, perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat.
Keputusan hengkangnya perusahaan raksasa asal Amerika Serikat itu disampaikan melalui surat kepada pemerintah Indonesia.
Air Products sendiri memilih tidak lagi melanjutkan kembali dua proyek gasifikasi batu bara di Indonesia. Keduanya yakni terkait proyek DME sebagai pengganti LPG di Tanjung Enim. Mulanya Air Products bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero). Kedua, proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol dengan perusahaan Group Bakrie, di mana batu bara akan dipasok dari PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.
Direktur Utama PTBA Arsal Ismail menjelaskan Air Products sendiri sudah mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia mengenai keputusan tersebut. Namun, ia tak membeberkan secara detail alasan Air Products memutuskan pergi dari proyek DME yang digadang-gadang menjadi pengganti gas LPG ini.
"Mereka sudah kirim surat resmi alasannya itu mungkin ini masih berproses. Mereka mungkin punya alasan tersendiri itu ada di Kementerian nanti lah yang bisa jelaskan lebih detail," kata Arsal ditemui di Jakarta, Kamis (9/3/2023).
Menurut Arsal pihaknya sendiri masih akan tetap berkomitmen untuk menjalankan proyek hilirisasi batu bara di dalam negeri sekalipun tanpa Air Products. Mengingat, program hilirisasi batu bara merupakan upaya untuk mendukung ketahanan energi nasional.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, saat ini Air Products tengah fokus untuk menggarap proyek hidrogen di Amerika Serikat. Hal tersebut menyusul diberikannya subsidi dari pemerintah Amerika Serikat untuk pengembangan proyek energi bersih.
"Di Amerika itu dengan adanya subsidi untuk EBT, jadi ada proyek yang lebih menarik ke sana untuk hidrogen, karena Amerika lagi mendorong untuk pemakaian itu," ungkap Arifin saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (17/3/2023).
Menurut Arifin, dengan adanya Undang-Undang (UU) penurunan inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) yang memberikan subsidi murah untuk pengembangan proyek hidrogen, sehingga membuat banyak investor mengalihkan kembali sebagian besar investasinya ke negeri Paman Sam tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM saat masih dijabat Ridwan Djamaluddin sempat mengatakan bahwa salah satu pemicu hengkangnya Air Products dari Proyek Strategis Nasional (PSN) ini adalah dikarenakan tidak adanya titik temu untuk nilai keekonomian dan juga model bisnis antara Air Products dengan konsorsium bersama PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam (PTBA), serta KPC.
"Ya (penyebabnya) nilai keekonomian. Air Products, satu lagi yang sama KPC. Sama KPC kita fasilitasi untuk ketemu juga. Pada dasarnya model bisnisnya tidak ketemu antara kedua pihak. Persiapan kita ke depan harus lebih detail," ungkap Ridwan saat ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Komunalnews.com
Komentar
Posting Komentar