Langsung ke konten utama

Demokrasi,Perubahan Sosial Dan Kesejahteraan


                                              Muhammad Alexandra F                                                                                                 (Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Front Kerakyatan)

 Proses demokratisasi dan liberalisasi ekonomi yang sedang melanda Indonesia dewasa ini menimbulkan pertanyaan apakah kedua proses yang berjalan secara simultan ini akan memuluskan jalan bagi bangsa Indonesia menuju kesejahteraan ekonomi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan analisis secara kritis tentang keterkaitan antara kedua variable di atas. Jawabannya tidak sederhana karena pengalaman beberapa negara menunjukkan fakta yang berbeda-beda. Cina, misalnya, sejak akhir tahun 1970an telah mulai dengan liberalisasi ekonomi tetapi tetap mempertahankan rezim politik yang otoriter. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Cina termasuk yang tertinggi di Asia dalam dua decade terakhir. Singapore pun mengikuti pola yang diterapkan oleh Cina dan hasilnya perekonomian Singapore mengalami pertumbuhan yang tinggi. Hampir 6 tahun setelah Soeharto jatuh Indonesia belum juga mencapai tingkat pertumbuhan seperti yang dialaminya sebelum krisis moneter tahun 1997. Hadirnya institusiinstitusi demokrasi tampaknya tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi.

 Perbandingan ini membuat orang mempertanyakan apakah demokrasi diperlukan untuk mencapai kemakmuran suatu bangsa? Dalam analisisnya tentang keterkaitan antara market economy dengan democratic polity, David Beetham (1999) mempersoalkan asumsi konvensional dari tradisi ilmu politik AngloAmerika yang mengatakan bahwa ekonomi pasar merupakan prekondisi untuk perkembangan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Memang dalam kenyataannya di negara-negara industri maju saat ini entitas ekonomi dan politik tersebut berkoeksistensi secara berkelanjutan. Bahkan setelah kejatuhan ideology komunisme Francis Fukuyama sampai mengklaim bahwa perkawinan antara demokrasi liberal dengan ekonomi pasar merupakan destinasi yang tak terelakkan dari sejarah. Menurut David Beetham asumsi ini perlu dipertanyakan validitasnya karena interaksi antara market economy dengan democratic polity menghasilkan hubungan yang bersifat ambivalen. Artinya, bisa positif dan bisa pula negatif. Hubungan yang positif didasarkan pada berbagai argumen berikut ini. Pertama, ekonomi pasar menarik urusan "economic responsibility" ke wilayah privat. Kalau ekonomi didominasi oleh negara maka publik akan sulit mengontrolnya. Kekuatan ekonomi juga bisa menjadi pengimbang bagi kekuasaan politik. Kedua, penerapan prinsip ekonomi pasar meningkatkan kualitas persaingan dalam pemilihan umum. Ketiga, kebebasan politik dan ekonomi saling memperkuat. Keempat, baik market economy maupun democratic polity sama-sama memerlukan rule of law. Kelima, baik kedaulatan konsumen dalam ekonomi pasar maupun kedaulatan pemberi suara (voters) dalam demokrasi sama-sama tidak menghendaki prinsip paternalisme. Keenam, ekonomi pasar dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang pada gilirannya memperkuat demokrasi itu sendiri. Berdasarkan kenyataan yang berkembang saat ini baik negara maju maupun negara berkembang terlibat dalam liberalisasi ekonomi sebagai jalan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 

Di samping hubungan yang positif ada juga hubungan yang negatif di antara kedua entitas ekonomi dan politik tersebut. Pertama, keterbebasan pasar dari campur tangan negara membuat aktivitas ekonomi sulit dikontrol secara demokratik. Misalnya, pasar uang global yang membuat nilai mata uang berfluktuasi setiap saat tidak dapat lagi dikontrol oleh mekanisme demokrasi padahal fluktuasi nilai mata uang mempengaruhi distribusi sumberdaya atau kekuasaan ekonomi dalam suatu masyarakat baik pada level nasional maupun global. Kedua, persaingan pasar akan menciptakan ketidakadilan sosial karena hanya menguntungkan pelaku ekonomi yang menguasai sumberdaya ekonomi dan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dalam proses produksi dan distribusi. Akan ada proses marginalisasi secara sosial ekonomi apabila pasar dibiarkan berjalan tanpa dikendalikan oleh kekuasaan politik atas nama publik.

 Di negara maju ketimpangan sosial ini diatasi melalui mekanisme welfare state, tetapi di negara-negara berkembang negara tidak cukup mampu membiayai kelompok-kelompok yang tersingkir dari persaingan pasar. Ketiga, praktek ekonomi pasar yang mengutamakan individual choice dapat merusak keutuhan ranah publik yang demokratis dan mengoyak sikap saling percaya dalam masyarakat. Misalnya, kalau Demokrasi dan Kemakmuran (Aleksius Jemadu) 134 pelayanan pendidikan dan kesehatan diprivatisasi maka hanya anggota masyarakat yang mampu bayar yang dapat menikmatinya. Karena adanya hubungan yang positif dan negatif ini maka, menurut David Beetham, karakterisasi hubungan antara market economy dengan democratic polity yang tepat adalah hubungan yang bersifat ambivalen. Dengan demikian persoalan utama negara berkembang seperti Indonesia dalam mencari model pembangunan yang tepat saat ini adalah mencari peran yang tepat dan proposional bagi negara agar memaksimalkan dampak positifnya sambil meminimilasasi dampak negatifnya (R. Gilpin, 2000).

 APAKAH INDONESIA MEMBUTUHKAN DEMOKRASI? Harian Kompas tanggal 8 Oktober 2003 menurunkan sebuah artikel opini yang menarik perhatian banyak pembaca. I Wibowo, penulis artikel yang berjudul "Demokrasi untuk Indonesia?" meragukan apakah Indonesia benarbenar membutuhkan demokrasi mengingat semakin parahnya kondisi sosial ekonomi rakyat Indonesia belakangan ini. Penulis mengambil contoh Cina sebagai negara yang tidak melakukan demokratisasi tetapi pembangunan ekonominya maju pesat. Sejak saat itu muncul pro dan kontra terhadap pendapat Wibowo.

 Franz Magnis Suseno (Kompas, November 2003), misalnya, menandaskan, kendati demokrasi mengandung efek-efek negatif yang tak terbantahkan, tidak ada alternatif lain yang lebih baik dari system tersebut. Dikatakannya, pemilihan umum merupakan mekanisme yang paling adil untuk menetapkan kekuasaan yang baru menyusul kejatuhan suatu rezim otoriter. Bila demokratisasi telah dimulai, maka tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan dan menyempurnakan kualitasnya. Alternatifnya, adalah "memanggil kembali" Soeharto menjadi penguasa. Suatu pilihan yang mustahil untuk dilakukan. Ia menyayangkan mengapa Wibowo tidak menjelaskan lebih lanjut akan diapakan proses demokratisasi di Indonesia. Bahkan dalam tanggapan baliknya yang dimuat Kompas tanggal 13 November, Wibowo hanya memberikan sejumlah usul praktis yang sesungguhnya hanya dapat diwujudkan dalam konteks negara demokrasi.

 Tulisan ini bertujuan untuk melengkapi perdebatan seputar keterkaitan antara demokrasi ekonomi pasar dan kemakmuran suatu bangsa. Tujuannya adalah agar kita tetap mengembangkan sikap positif terhadap demokrasi yang secara tak terelakkan merupakan keniscayaan sejarah peradaban modern. Secara filosofis justifikasi dari system demokrasi terletak dalam kepeduliannya terhadap "the equal human worth or dignity" sebagai idealismenya. Salah satu kekeliruan yang dilakukan oleh mereka yang skeptis terhadap demokrasi di negara  berkembang termasuk Wibowo adalah fakta empiris yang mereka ajukan sangat terbatas dan lagi pula selektif.

 Generalisasi hubungan demokrasi dengan kemakmuran tidak bisa dilakukan berdasarkan pengamatan satu atau dua kasus saja. Mari kita bahas hubungan kedua fenomena tersebut dalam perspektif yang lebih luas dan representatif. Secara teoritis dan empiris hubungan antara rezim politik dengan pembangunan ekonomi sifatnya sangat kompleks. Di satu pihak ada negara otokratik seperti Cina dan Singapore yang mengalami kesuksesan dalam pembangunan ekonomi tetapi juga ada negara demokrasi seperti Bostwana di Afrika yang demokratis tetapi sekaligus mencatat pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia (Amartya Sen, 2001). Bahkan dalam satu studi yang dilakukan terhadap 115 negara dalam periode 1960 — 1980 ditemukan bahwa negara-negara dengan tingkat keterbukaan politik yang tinggi mengalami pertumbuhan pendapatan per capita rata-rata 2.53% dibandingkan dengan negara-negara dengan system politik yang tertutup yang pertumbuhannya hanya 1.41%. Artinya negara-negara demokratis tumbuh 80% lebih cepat dari negara-negara non-demokratis (Gerald Scully, 1988, Minxin Pei, 2001). Wibowo tampaknya sangat dipengaruhi oleh argumentasi bahwa demokrasi memiliki beberapa kelemahan yang menghambat kegiatan pembangunan ekonomi. Salah satu kelemahan itu adalah terciptanya insecure property rights bagi kelas atas (propertied class) karena demokrasi menciptakan enfranchisement dan empowerment politik bagi mayoritas rakyat yang miskin. Kekuatan politik baru ini akan menggunakan mekanisme demokrasi untuk melancarkan redistribusi sumberdaya pembangunan. Gejala ini terjadi setelah jatuhnya Soeharto di mana banyak warganegara Indonesia keturunan Cina yang melarikan modalnya ke luar negeri (capital flight) karena merasa terancam oleh gerakan populis yang punya gelagat melakukan penjarahan kekayaan mereka secara legal maupun illegal. Negara yang sedang mengalami demokratisasi juga memiliki kecenderungan yang tinggi untuk konsumsi (high propensity to consume). Kenderungan ini muncul karena adanya tekanan terhadap pemerintah untuk meningkatkan public spending guna memenuhi tuntutan konsumsi rakyat. Pada gilirannya hal ini akan mengurangi efisiensi dalam pembangunan ekonomi. Karena adanya keterbukaan politik maka berbagai kelompok kepentingan menggunakan pengaruhnya untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang penuh dengan distorsi. Demokrasi dan Kemakmuran (Aleksius Jemadu) 136 Bahwasannya Cina dan Singapore berhasil dalam meningkatkan pembangunan ekonominya bukan karena mereka menerapkan system otokratik yang tidak demokratis. Dalam melihat keberhasilan dua negara tersebut perlu dibedakan secara tegas antara democratic regime dan governing institutions. Kedua negara itu tidak memiliki democratic regime karena adanya dominasi partai tunggal yaitu People's Action Party (PAP) di Singapore dan Partai Komunis di Cina. Tetapi keduanya memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan governing institutions yang bekerja secara efisien. Sebaliknya, Indonesia memiliki democratic regime, tetapi governing institutionsnya sangat tidak efisien dan korup. Akibatnya, Singapore yang dikenal tidak demokratis mempunyai birokrasi pemerintahan yang efisien dan relatif bersih dari korupsi. Sedangkan Indonesia yang demokratis dikenal luas memiliki prestasi yang buruk dari sudut good governance. Nyatalah sekarang bahwa proses demokratisasi di Indonesia tidak disertai oleh pembenahan dalam lembaga-lembaga pemerintahannya. Selain birokrasi yang masih merupakan warisan Orde Baru yang korup dan boros, lembaga-lembaga pemerintahan lainnya juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya seperti pengadilan dan perbankan yang independen, jaminan atau perlindungan atas hak milik (security of property rights), rezim persaingan bisnis yang merit-based dan rule of law. Institusi-institusi inilah yang berdampak langsung dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran secara umum. Kita juga mengamati gejala yang sama dalam proses pelembagaan politik. Selama kurang lebih tiga decade pelembagaan partai politik tidak terjadi sama sekali karena aktivis partai yang ada hanyalah mereka yang berkompetisi untuk mendapatkan jabatan dan apropriasi ekonomi. Adapun partai-partai besar yang dominan di eksekutif dan legislatif masih bersifat underinstitutionalized dan paternalistic. Kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi di pusat maupun daerah memanfaatkan kelemahan proses pelembagaan ini untuk melestarikan kepentingannya sehingga kepentingan rakyat banyak terabaikan. Apabila proses pelembagaan pemerintahan yang menjadi akar keprihatinan Wibowo maka sangat tidak bijak bila beliau mendiskreditkan demokrasi yang secara intrinsic mengandung pengakuan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusian. Sedangkan sistem otokratik seperti yang dipraktekkan oleh Singapore and Cina, meskipun bisa menjamin birokrasi yang efisien dan security of property rights, secara intrinsic system ini menyangkal martabat dan otonomi manusia (human worth and autonomy). Demokrasi tidak akan datang dengan sendirinya  kemakmuran yang semakin meningkat. Demokratisasi adalah aktivitas moral yang tidak ada hentinya bahkan di negara yang demokrasinya sudah mapan sekalipun (Larry Diamond, 1999). Optimisme yang berlebihan terhadap proses demokratisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh teori-teori tentang "democratic transition" yang mengkondisikan kita untuk berpikir secara linear di mana kejatuhan rezim otoriter seakan-akan dengan sendirinya diikuti oleh proses demokratisasi yang menghasilkan demokrasi. Dalam tulisannya yang berjudul "Reorganizing political power in Indonesia: a reconsideration of so-called `democratic transitions"', Vedi R. Hadiz (2003) mengungkapkan bahwa teoriteori transisi demokrasi mengabaikan beroperasinya kekuatan-kekuatan sosial ekonomi dari rezim sebelumnya yang memanfaatkan institusi-institusi demokrasi untuk mempertahankan kepentingan ekonomi dan politiknya. DEMOKRASI TETAP DIPERLUKAN Menurut Armatya Sen (2001) ada tiga hal yang diberikan oleh demokrasi tetapi rezim politik yang lain tidak mampu dan mau menawarkannnya. Pertama, kebebasan politik merupakan bagian dari kebebasan kemanusiaan pada umumnya dan ini sangat penting bagi setiap individu sebagai makluk sosial untuk mengembangkan segala potensi kemanusiaannya. Di bawah rezim Orde Baru potensi manusia Indonesia tidak bisa berkembang secara optimal. Menghadapi era globalisasi yang penuh persaingan manusia Indonesia secara individu maupun kolektif hams tangguh membangun kemampuan daya saingnya. Potensi itu hanya bisa berkembang dalam alam demokrasi. Kedua, karena evaluasi terhadap kekuasaan politik dalam demokrasi dilakukan secara reguler melalui pemilihan umum yang jujur dan adil maka para penguasa memiliki systemic incentives untuk senantiasa mempedulikan apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya termasuk kebutuhan ekonomi. Selain itu proses evaluasi politik melalui pemilu mengandung pendidikan politik bagi rakyat bahwa setiap kekuasaan politik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang memberikannya. Ketiga, dalam alam demokrasi selalu tersedia peluang terjadinya kontestasi diskursus sosial dan politik melalui kebebasan mengemukakan pendapat dan artikulasi kepentingan. Petukaran ide dan nilai yang berlangsung secara terbuka bisa membuat anggota-anggota masyarakat saling belajar satu dengan yang lain sehingga tumbuhlah sikap reasonableness sebagai unsure dasar keadilan sosial (John Rawls, 1971). Demokrasi dan Kemakmuran (Aleksius Jemadu) 138 Karena persoalan bangsa kita yang sebenarnya terletak dalam pengembangan institusi pemerintahan (governing institutions) dan mengingat nilai-nilai intrinsic demokrasi yang sudah dikemukakan di atas, maka sangatlah tidak bijaksana apabila kita mencampakkan begitu saja pembangunan demokrasi. Demokrasi hendaknya lebih dilihat sebagai kata kerja aktif dan bukan sebagai kata benda dalam arti proses yang sudah selesai. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh orang bijak: there is no road to democracy, democracy is the road. 

DAFTAR PUSTAKA: Beetham, David. 1999. Democracy and Human Rights. London: Polity Press. Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy: Towards Consolidation. Baltimore: The John Hopkins University Press. Gilpin, R.. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. Princeton: Princeton University Press. Hadiz, Vedi R.. 2003. "Reorganizing Political Power In Indonesia: A Reconsideration Of SoCalled 'Democratic Transitions'. The Pacific Review, vol. 16 no. 4. Minxin, Pei. 2001. "Political Institutions, Democracy, and Development", dalam Farrukh Iqbal and Jong-Il You (eds.), Democracy, Market Economics and Development: An Asian Perspective. Washington: The World Bank. Rawls, John. 1971. A Theory of Justice. Oxford: Oxford University Press. Sen, Amartya. 2001. "Democracy and Social Justice" dalam Farrukh Iqbal and Jong-Il You (eds.), Democracy, Market Economics and Development: An Asian Perspective. Washington: The World Bank. Wibowo, I.. "Demokrasi untuk Indonesia". Kompas (8 Oktober 2003). ______. "Memaafkan Demokrasi?: Sebuah Tanggapan Balik". Kompas (13 November 2003). Scully, Gerald. "The Institutional Framework and Economic Development". Journal of Political Economy 96 (3). Suseno, Franz, M.. "Demokrasi untuk Indonesia!". Kompas (29 Oktober 2003)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jusuf Kalla : Kebijakan Subsidi BBM Harus Dikurangi di Masa Mendatang

Komunalnews.com Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) mengomentari soal kebijakan subsidi BBM yang masih dilakukan pemerintah. Menurut dia, sebaiknya kebijakan itu tak dilanjutkan di masa mendatang. "Kalau dari sisi pemerintah dan tentu berpengaruh ke ekonomi nasional, pemerintah harus punya daya beli yang kuat. Karena itu, pemerintah seharusnya mengurangi dampak subsidi yang tidak perlu," kata dia dalam sesi Nation Hub, CNBC Indonesia, Kamis (18/5/2023). Ia melanjutkan bahwa subsidi memang tidak apa-apa diberikan ke masyarakat yang tidak mampu. Namun, jangan sampai dilakukan terus-menerus. Menurut JK, masyarakat sebenarnya mampu untuk membeli BBM tanpa subsidi. Ia menyinggung pengalamannya saat masih menjabat pada 2005 lalu. "Pengalaman saya waktu itu 2005 menaikkan BBM sampai 100% masyarakat menerimanya," ujarnya. JK juga mengomentari soal nilai ekspor yang naik, tetapi tidak dibarengi dengan cadangan devisa yang naik. Sementara itu, untuk kebijakan hilirisasi

Jokowi Memantapkan Posisi sebagai King Maker dalam Pilpres 2024

Komunalnews.com Manuver politik dengan gaya pembisik, sebenarnya menarik untuk ditilik. Pasalnya, manuver itu agak kurang mengena logika. Saat ini sudah ada tiga poros kekuatan politik yang siap terjun dalam Pilpres 2024. Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang mengusung Anies Baswedan, Koalisi Pendukung Ganjar Pranowo yang terdiri dari PDIP, dan PPP, serta KKIR yang mencapreskan Prabowo Subianto. Setelah PPP merapat ke kubu Ganjar, KIB tak lagi relevan. Partai Golkar kini sibuk kasak-kusuk mencari negosiasi yang paling menguntungkan. Sedangkan PAN, tak lagi jelas ke mana arah haluan. Jika peta capres sudah terkonfirmasi, pertanyaan tentang siapa yang mau mendengar bisikan Jokowi mencuat. Selain itu, ke mana sosok cawapres hasil musra akan dibisikkan juga jadi pertanyaan. Saat berpidato di depan para pendukungnya akhir pekan lalu, Jokowi tak lagi berbicara mengenai warna rambut, atau wajah yang berkerut. Dekat dengan rakyat, berani, dan paham bagaimana memajukan negeri, itulah rekomenda

Kisah Penemuan Cullinan, Berlian Terbesar di Dunia dari Tambang Afrika

 Komunalnews.com Pada 25 Januari 1905, di Tambang Premier di Pretoria, Afrika Selatan, berlian 3.106 karat ditemukan saat inspeksi rutin oleh pengawas tambang. Dengan berat 1,33 pon, berlian ini diberi nama "Cullinan". Ini disebut sebagai berlian terbesar yang pernah ditemukan. Frederick Wells, sang penemu, berada 18 kaki di bawah permukaan bumi ketika dia melihat kilatan cahaya di dinding tepat di atasnya. Dilansir History, penemuannya dipresentasikan pada sore yang sama kepada Sir Thomas Cullinan, yang memiliki tambang itu. Cullinan kemudian menjual berlian itu kepada pemerintah provinsi Transvaal, yang memberikan batu itu kepada Raja Inggris Edward VII sebagai hadiah ulang tahun. Khawatir berlian itu mungkin dicuri dalam perjalanan dari Afrika ke London, Edward mengatur untuk mengirim berlian palsu ke atas kapal uap yang penuh dengan detektif sebagai taktik pengalih perhatian. Sementara umpan perlahan-lahan berjalan dari Afrika dengan kapal, Cullinan dikirim ke Inggris dal